Sunday, May 20, 2007

Jejak Penerbit Pers di Banten 50 Tahun Silam

Dari "Utusan Banten" ke "Gelora Massa"

Tidak ada yang menyangka jika obrolan ngalor-ngidul
menjelang malam beberapa pemuda di sekitar perempatan
Pocis Serang satu saat ke depan akan melahirkan
penerbitan lokal dan merintis menjadi cikal-bakal PWI
cabang Banten untuk pertama kalinya. Beberapa pemuda
idealis ini selalu bertemu di perempatan Pocis untuk
membicarakan apa saja yang sedang "ngetrend" pada saat
itu, termasuk berdiskusi tentang film yang baru mereka
tonton di Gedung Sampoerna -sekarang Pelita Theatre.

Ketika idealisme mereka memuncak, pada tahun 1954
mereka sepakat untuk menerbitkan satu media yang
bersifat penerangan, pendidikan dan hiburan. Mereka
sepakat untuk mendirikan penerbit "Rangsang Debu '45"
serta menerbitkan "Utusan Banten" dengan format buku
kecil -sebesar buku tulis- yang terbit satu bulan
sekali dengan 30 halaman.

Utusan Banten beralamat redaksi di jalan Mayor Safe'i
(dahulu jalan Cilegon) nomor 34 di ruang muka keluarga
Bapak Mu'in yang sekarang digunakan sebagai pemangkas
rambut. Tercatat Sianfu dan Atja sebagai pendiri,
Chutbany sebagai pimpinan redaksi, AS Sumiarsa sebagai
redaksi dan sekretaris redaksi dipegang oleh Nani.

Peralatan sederhana seperti meja tulis, mesin tik dan
kebutuhan sehari-hari ditanggung oleh Atja, sedangkan
dana penerbitan dan transportasi disumbang oleh Karso
Utomo Kohardjaja (Ko Eng Ke), seorang pedagang
tembakau yang juga ayah dari Sian Fu.

Agar mudah diingat, dalam penerbitan mereka selalu
menggunakan nama alias untuk artikel yang ditulisnya.
Penulis Utusan Banten dikenal dengan empat serangkai
ABCD. A sebagai Andre adalah Atja, B sebagai Basri
adalah Chutbany, C sebagai Chemmy adalah Sian Fu dan D
sebagai Deddy yang sebenarnya adalah AS Sumiarsa.

Utusan Banten yang naik cetak di percetakan Persatoean
Djakarta sempat berkembang selama enam bulan. Namun
nasibnya sungguh tragis karena pada kurun waktu itu
pula mereka hanya memiliki semangat dan idealisme saja
tanpa ditunjang dengan pengalaman marketing sama
sekali. Utusan Banten hanya sempat terbit empat kali
dalam kurun waktu Januari hingga April 1954. Hanya
mampu menerbitkan tapi tak memperhatikan sirkulasi
dan pemasaran produk. Akibatnya, modal usaha pemberian
almarhum Karso Utomo Kohardjaja ludes, sebelum Utusan
Banten mencapai kemapanan.

Dilebur
Kesulitan yang dialami pengurus Utusan Banten
terpantau oleh H.M. Rafiudin Gogo Sandjarirdja yang
ketika itu menjabat sebagai Ketua Perburuhan Banten.
Dengan bantuan tiga motor DKW dari beliau akhirnya
Utusan Banten dilebur kemudian muncul dengan nama
baru, Gelora Massa. Penerbitan ini mendapat subsidi
dari Departemen Penerangan atas referensi dari Gogo
Sandjadirdja.

Gelora Massa yang terbit setiap hari Jum'at satu
minggu sekali, relatif dapat terbit atau bertahan
lebih lama hingga tahun 1959, atau sekitar kurang
lebih lima tahun dengan oplah 6 ribu eksemplar setiap
terbit. Jumlah itu didistribusikan kesejumlah daerah
seperti Tanjung Priuk, Tanah Abang, Bogor dan
Tangerang sebanyak 2000 eksemplar, Lampung 500
eksemplar sedang sisanya diedarkan di daerah Serang,
Pandeglang dan Lebak. Formatnya juga berubah menjadi
seukuran tabloid biasa dengan delapan halaman
hitam-putih.

Gelora Massa saat itu beralamat redaksi di jalan Mayor
Safe'i nomor 58, Lontar, yang sekarang digunakan
sebagai bengkel las di sebelah Kantor Damri. Ketika
itu tanah tersebut masih milik Damri. Adalah (Alm)
Rustam Rismunandi, seorang staf kantor DAMRI dan
mengajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
yang juga anggota Dewan Pemerintahan Daerah Kabupaten
Serang menjadi Pemimpin Umum Gelora Massa. Rustam
Rismunandi memang aktif di bidang jurnalistik dan
manajemen, sehingga Gelora Massa sempat mencapai
sukses dan turut mengembangkan kegiatan pembangunan
daerah.

Bertindak sebagai pimpinan redaksi adalah H. Djaja
Sardjadirdja eks wartawan harian "Bintang Timur",
Jakarta yang juga sempat membuka bidang pembangunan di
bawah panji CV Ujung Kulon, Jakarta, dan menjabat
sebagai Ketua DPRD Tingkat II Kabupaten Serang.

Di bidang keredaksian diisi oleh Chutbany yang kini
bermukim di Bandung. Shien Fu yang sering dipanggil
Sian-Fu kini seorang pensiunan di Serang. AS Sumiarsa,
eks anggota kepolisian, kini tinggal di Ciwidey
Bandung, Tato S dari Cilegon, kini masih aktif di
bidang jurnalistik di Bandung, serta Andi Azis asal
Lampung, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Sedangkan untuk wartawannya tersebut Raden Mas Mulyadi
dan Kusnen dari Pandeglang yang juga sebagai wartawan
Merah Putih Surabaya.

Romantika
Pada tahun 50-an, percetakan di daerah Banten masih
merupakan barang langka. Kalaupun ada, satu-satunya
percetakan yang ada di kota Serang adalah Percetakan
"Serang", peninggalan Belanda yang pernah dikelola
oleh (Alm) Abdul Razak dan (Alm) Solihin. Karena masih
memakai sistem hand-press, maka tentu saja percetakan
tersebut tidak dapat mencetak format koran. Oleh
karena itulah Gelora Massa harus naik cetak di
Jakarta, yaitu pada percetakan harian "Suluh
Indonesia" di Jl Kran Kemayoran.

Percetakan itu juga yang mencetak mingguan "Berita
Indonesia", yang sangat populer dengan rubik 'Gambang
Kromong'-nya Firman Muntako. Sastrawan tenar WS Rendra
yang pada saat itu baru saja hijrah ke Jakarta, sering
tampak berkunjung ke kantor redaksi "Berita
Indonesia". Kadang ia menyerahkan sajak-sajaknya pada
Gelora Massa. Maka tak heran bila pada rubrik
"Kebudayaan" Gelora Massa sering ditemui sajak-sajak
si "Burung Merak" itu, di samping karya tulis dari
para muda-mudi Banten.

Beruntung Gelora Massa memiliki rekomendasi dari
Departemen Penerangan sehingga dengan mudah mendapat
"jatah" kertas koran yang ketika itu memang sangat
sulit didapat. Jika saja pengurus Gelora Massa ketika
itu tidak mempunyai idealisme tinggi dengan daerah
Banten dan hanya ingin mencari keuntungan, tentu
pengurus sudah dapat untung besar tanpa kerja keras.
Jatah kertas koran yang didapat selalu ditawar dengan
harga tinggi oleh calo-calo kertas yang akan digunakan
untuk pembuatan komik-komik atau terbitan lain yang
sejenis.

Untuk ke Jakarta saat itu hanya ada bus Ciang Tiam
yang kemudian berganti nama jadi Madju dan terakhir
menjadi Koepoe-Koepoe. Jarak Serang ke Jakarta lewat
Tangerang sejauh 100 KM harus ditempuh dalam waktu
empat hingga lima jam untuk sampai di terminal Bungur
Besar. Itu merupakan salah satu kendala yang tidak
ringan bagi usaha penerbitan pers daerah di masa itu.

Karena Gelora Massa terbit setiap hari Jum'at, maka
setiap hari Rabu, salah seorang staf redaksi berangkat
ke Jakarta mengantarkan naskah untuk setting. Tidak
jarang pula harus bermalam di percetakan, sambil
mencari tambahan berita nasional. Pukul tujuh pagi
esok harinya harus siap naik cetak dan selesai cetak
jam delapan malam. Untuk itu setiap malam Jumat sebuah
mobil sedan dinas DPRD Kabupaten Serang, secara khusus
datang menjemput staf dan mingguan Gelora Massa yang
selesai dicetak untuk diangkut ke Serang, agar dapat
dibaca masyarakat pada hari Jum'at pagi.

Cerita Misteri
Perjalanan malam melalui jalan raya Serang bukanlah
hal yang nyaman. Tiap kali setelah melewati jembatan
Cisadane di kota Tangerang, para kru Gelora Massa
harus bersiap-siap menghadapi hal-hal yang
sewaktu-waktu terjadi di luar keinginan pemakai jalan.
Sepanjang jalan tak ada lampu penerangan jalan umum
(PJU), karena memang dulu masih langka jaringan
listrik. Jalannya pun sempit dan berlubang-lubang.

Di tepi jalan berjajar pohon asam tua yang
besar-besar. Sedang jarak antara satu kampung dengan
kampung lainnya cukup jauh. Sungguh sangat seram dan
menjenuhkan. Kendati lelah, karena telah bekerja keras
selama dua hari dua malam, kru Gelora Massa tidak
berani tidur dalam perjalanan takut mengganggu
konsentrasi supir. Para kru masih harus begadang
menemani sang pengemudi agar tidak ikut mengantuk.

Untuk membunuh waktu, pikiran para kru Gelora Massa
menerawang entah kemana. Mereka tidak berani
berbincang-bincang, menghormati sang supir yang selalu
terlihat serius sekali mengendara mobilnya. Saat
itulah muncul ide cerita misteri yang dilatar
belakangi setting daerah sekitar jalan raya
Serang-Tangerang. Jadilah sebuah kisah "Si Manis
Damayanti". Cerita itu mengisahkan tentang mahluk
halus yang disebut Nyi Damayanti, yang sering muncul
di sepanjang jalan raya Serang-Tangerang, terutama
pada malam Jum'at.

Cerita fiktif ini mendapat perhatian luar biasa dari
para pembaca, bahkan penulis cerita kerap ditanya oleh
keluarga atau teman-teman serta para pembaca yang
penasaran, selalu tidak mau memberi keterangan yang
lebih rinci, paling-paling hanya menjawab dengan
senyuman penuh misteri, karena setelah diberi
keterangan, ternyata tokoh Nyi Damayanti memang ada
dan menjadi legenda di daerah itu. Dengan demikian
apakah Nyi Damayanti telah mengilhami kru Gelora Massa
secara langsung?

PWI Banten Pertama
Sebelum adanya Utusan Banten dan Gelora Massa, memang
pernah terbit beberapa media cetak di Banten ini,
kemudian ada yang berbahasa Sunda di Lebak bahkan ada
yang diterbitkan oleh Belanda. Namun jika yang menjadi
ukuran adalah media yang dibuat dan diterbitkan oleh
"Wong Banten" sendiri untuk pertama kalinya adalah
Utusan Banten dan Gelora Massa. Oleh sebab itu ketika
PWI Perwakilan Banten pertama kali berdiri, tidak lain
isi pengurusnya adalah dari Gelora Massa itu sendiri.

Berkantor di sebuah ruang depan Gedung Kodim Alun-alun
Serang (sekarang berubah menjadi mall), PWI Perwakilan
Banten dipimpin pertama kalinya oleh Rustam Rismunandi
dengan Sekretaris Djaja Sandjadirdja pada tahun 1956.
Sedang anggotanya terdiri dari Rustam Rismunandi, H.
Djaja Sandjadirdja, Chutbany, AS Sumiarsa, Sian Fu,
Raden Mas Mulyadi, dan Kusnen dari Pandeglang. Saat
itu kartu pers yang mereka pegang ditandatangani oleh
Ketua PWI Pusat, Karim DP. ***

Diceritakan secara singkat oleh Chemmy kepada M. Iwan.

Sianfu:
Kegalauan dan Idealisme Praktisi Pers

Saat ditemui di tempat mangkalnya, di sebuah gallery
di bilangan Pocis Serang, Sianfu atau yang dikenal
juga sebagai Theodorus Ko Kian Hoe, terlihat lebih
segar dibanding usianya yang sudah menapaki senja.
Selain menceritakan pengalaman-pengalam an indah ketika
masih aktif di dunia jurnalistik pada tahun 50-an, ia
juga mengungkapkan perasaannya dan harapan-harapan ke
depan bagi perkembangan jurnalistik khususnya di
Banten ini.

Pengalamannya dibidang jurnalistik dan ingatannya pada
peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah dilaluinya
masih melekat erat. Oleh sebab itu tidak heran jika Ko
Kian Hoe sering dijumpai berdiskusi dengan praktisi
jurnalistik muda di Banten ini. Dirinya kerap kali
menjadi nara sumber baik media lokal maupun nasional
yang ingin mengetahui keadaan Banten masa itu.

Sedikit kekhawatiran dirinya tentang jejak sejarah
pers di Banten diungkapkan pula pada kesempatan ini.
"Bahkan praktisi pers sekarangpun seperti tidak mau
tahu tentang sejarahnya. Banyak disinformasi yang
beredar tentang penerbitan masa lalu," ujar kakek
seorang cucu ini galau.

Sianfu menyanggah adanya sebuah buku yang menuliskan
bahwa Utusan Banten di cetak di Serang. "Memang saat
itu hanya ada satu percetakan di Serang, namun masih
menggunakan handpress sehingga tidak mungkin dapat
mencetak gambar atau foto. Walau dengan format
hitam-putih, Utusan Banten saat itu sudah menampilkan
foto-foto. Jadi hal ini juga harus diluruskan,"
tambahnya.

"Apalagi jika menyangkut PWI. Walau dahulu sempat
mendirikan PWI cabang Banten dan mempunyai kartu pers
yang dikeluarkan PWI Pusat, apakah data itu ada atau
setidaknya PWI Banten sekarang ini mengetahuinya, "
tutur pria kelahiran Banjarnegara ini. "Apa tanggapan
mereka tentang hal ini" ujarnya.

Banyak dokumen tulisan dan foto yang musnah terbakar
ketika tahun 1965 termasuk tercecernya bukti outentik
penerbitan Utusan Banten. "Selama ini saya berusaha
menemukan beberapa penerbitan Utusan Banten dan Gelora
Massa hingga ke Bandung, namun hasilnya nihil. Tapi
saya percaya bahwa terbitan itu masih ada yang
memiliki," ungkapnya.

Ternyata dalam beberapa waktu ini Sianfu sedang
menyiapkan sebuah "museum mini" penerbitan pers di
Banten. Saat ini terlihat sudah ada dua buah mesin
ketik kuno yang dipakai saat itu. Untuk sementara
benda tersebut disimpan di Gallery WongBanten di Jalan
P. Diponegoro 22 Serang, tempat anaknya tinggal.

"Saya juga sedang mencari kamera yang dahulu pernah
digunakan meliput Bung Karno berpidato di Alun-alun
Serang," ungkapnya bersemangat. Sianfu juga mohon
bantuan masyarakat yang memiliki penerbitan Utusan
Banten dan Gelora Massa untuk dapat meminjamkan atau
menyumbangkannya pada Musium Pers Mini ini.

Saat kran reformasi terbuka, penerbitan pers juga
mengalami peningkatan, terutama pada penerbitan lokal.
Yang jelas ada satu kesamaan yang dirasakan pada
penerbitan dahulu maupun saat ini terutama dari
kalangan pembacanya. Masyarakat maupun Pemerintah
Daerah kerap tidak peduli dengan isi berita yang
menyangkut sosial masyarakat. Tapi jika beritanya
sudah mengarah kepada personal, pasti akan ramai dan
seperti cerita bersambung dimuat setiap hari.

"Ini menunjukan pers masih belum dianggap sebagai
mitra pembangunan daerah. Beritanya ada tetapi
responnya sangat lamban," ujar praktisi pers yang juga
menggeluti fotographi ini. "Idealnya Pemda maupun
Pemprov menjadikan pers sebagai mitra pembangunan
daerah, sebaliknya pers juga harus bisa memberikan
solusi bagi berbagai persoalan," tambahnya.

Ia mengharapkan sekecil apapun yang dilakukannya saat
merintis penerbitan pers ketika itu setidaknya dapat
memberi motivasi pada praktisi pers saat ini. Walau
bukan penghargaan yang ia inginkan, setidaknya Sianfu
berbesar hati telah turut berpartisipasi bersama rekan
seperjuangannya untuk memberikan sedikit arti dalam
perjalanan panjang pers di Banten. "Sedikit sumbangsih
untuk Banten yang kami cintai ini karena kami bangga
menjadi anak Banten," ujarnya menutup pembicaraan. ***

> Salam,
> Saya ingin tahu sejarah pers di Banten seperti apa.
> Ada yang tahu? Ada
> yang tahu buku apa yang bisa saya baca? Terimakasih
> atas informasinya.
>
> Salam
> Ibnu AA
> Universitas Leiden, Belanda

No comments: